Sustainable Development Goals
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) adalah
seperangkat program dan target pembangunan untuk dan oleh semua negara anggota
PBB, termasuk Indonesia. SDG berlaku sejak 2016 hingga 2030. SDG menggantikan
Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), yang berakhir 2015.
Indonesia sebagai salah satu negara penanda tangan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal (SDG)
terikat secara sosial dan moral untuk melaksanakannya. Indonesia diperkirakan
tidak akan terlambat dalam pelaksanaannya. Meski demikian, tata kelola SDG akan
menentukan apakah Indonesia akan mampu memenuhi.
Hari-hari ini pemerintah sedang menggodok dan
menyiapkan peraturan presiden (perpres) tentang SDG. Bappenas kini sedang
merancang dokumennya. Dikabarkan, pada April atau awal Mei, Presiden Joko
Widodo akan menandatanganinya. Ternyata, SDG bukan hanya soal isi dan subtansi,
tetapi juga perihal siapa memutuskan apa agar pelaksanaan dan akuntabilitas SDG
dapat dipastikan.
Perpres akan mengikat semua kementerian dan jajaran
pemerintah. Perpres juga akan mengatur bagaimana peran pemangku kepentingan.
Lebih penting lagi, di dalam keputusan politik-hukum itu, di dalamnya akan
ditetapkan siapa memutuskan apa. Kerisauan berbagai pemangku
kepentingan—masyarakat sipil dan komunitas filantropi—telah muncul dan
disuarakan, terutama kepada Bappenas sebagai pihak yang menyusun dan merancang
perpres SDG.
Kegundahan itu lantaran dua hal: proses yang
tertutup dan kecenderungan SDG akan kembali dilakukan dengan model dan
pendekatan lama. Mengapa ini jadi masalah? Bukankah sudah jelas pemerintahlah
yang akan memutuskan semuanya? Jika menggunakan pendekatan lama, tata kelola
yang akan ditetapkan dalam perpres SDG akan mengulangi dan tak berbeda dengan
aturan semasa Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goal
(MDG), yaitu semuanya merupakan kerja pemerintah.
Pendekatan seeing like a state akan berhasil sejauh
kapasitas, integritas, dan pelaksanaan (delivery) serta anggaran pemerintah
memadai. Jika syarat-syarat itu kurang atau tidak ada, prospek keberhasilan
mencapai sasaran SDG akan rendah. Pendekatan “negara hadir” di sini dimaknai
sempit sebagai overestimasi dari seluruh kapasitas perencanaan, penganggaran,
dan pelaksanaan. Dari sisi akuntabilitas, jika berhasil, semua pujian dan
jempol untuk pemerintah dan demikian juga sebaliknya jika gagal.
Pendekatan baru, sebaliknya memandang tata kelola
yang ada dan diatur dalam perpres SDG bertolak dari pikiran bahwa pelaksanaan
dan pencapaian merupakan karya dan kerja bersama. Ini merupakan aplikasi
pendekatan seeing like a citizen di mana operasi, kinerja, dan keberhasilan
pemerintah selalu diukur dan diukur kembali dengan apa yang baik dan berharga
bagi warga negara.
Negara hadir dimaknai sebagai “optimalisasi”
kapasitas dengan cara menggerakkan peran pemangku kepentingan—masyarakat sipil,
sektor swasta, dan akademisi. Informasi, intelijen, dan modal sosial akan
dipasok oleh pemangku kepentingan.
Dari sisi akuntabilitas, jika SDG gagal akan menjadi
tanggung jawab yang dipanggul secara tanggung renteng oleh semua dan jika
berhasil, bukan pemerintah saja yang sukses, tetapi masyarakat kemitraan dan
kerja sama menjadi rahasia suksesnya
Implikasi pendekatan baru
Sudah waktunya pemerintah beralih kepada pendekatan
baru. Urgensi dan manfaatnya ada beberapa, antara lain, pertama, belajar dari
tata kelola MDG 2000-2015, pelajaran yang dapat dipetik adalah semua diputuskan
dan dilaksanakan “dari, oleh, dan untuk pemerintah”. Hasilnya, empat tujuan dan
sasaran Indonesia tak tercapai (off track), yakni sasaran akses air minum dan
sanitasi, penurunan angka kematian ibu, penurunan jumlah penderita HIV/AIDS,
dan penguatan perlindungan lingkungan hidup.
Kedua, SDG 2016-2030 memiliki cakupan yang luas
berupa 17 tujuan, 169 target, dan 230 indikator yang harus dicapai selama 5-15
tahun. Misalnya, semua warga punya KTP dan akta kelahiran. Semua warga memiliki
akses air minum dan sanitasi. Ketimpangan pembangunan diatasi, termasuk
ketimpangan pendidikan dan ketimpangan pasar kerja, sehingga 40 persen penduduk
dengan pendapatan terendah menikmati pertumbuhan pendapatan lebih cepat
ketimbang 10 persen lapisan terkaya. Karena itu, pemerintah menyusun peta jalan
atau rencana aksi, sebagai wujud dan keputusan prioritas selama lima tahun.
Ketiga, SDG juga memiliki sasaran ambisius. Karena
semangat SDG no one left behind, jika ada satu atau 10 anak Indonesia putus
sekolah, pencapaian target pendidikan untuk semua tak dipandang berhasil. Jika
jarak pendapatan antara si A (jobholder) dan si B (jobless) terlalu tinggi, SDG
juga kurang berhasil (tujuan nomor 10). Karena itu, mustahil pemerintah bekerja
sendiri, apalagi hanya pemerintah pusat, atau hanya Bappenas, meski dengan niat
baik. Iuran, sumbangan, dan peran pemangku kepentingan harus diakui dan
terjadi. Jika tidak, SDG akan mengulang cerita MDG, gagal lagi.
Keempat, belajar dari era MDG yang kurang berhasil,
karena faktor pemerintah daerah, pemerintah kabupaten, dan kota tak berperan
dan atau terlambat berperan, bila SDG hendak berhasil di semua bidang dan
wilayah Indonesia, pemerintah kota dan kabupaten harus sejak awal terlibat,
bersiap dan mendukung capaian 17 tujuan SDG. Kelima, arahan Presiden Jokowi
sendiri dalam pertemuan dengan CSO pada Desember 2015 telah menyatakan bahwa
peran pemangku kepentingan penting. Artinya pemangku kepentingan bukan untuk
ambil alih peran dan tugas pemerintah, tetapi bersama- sama memberi arah yang
tepat menuju penyelesaian masalah.
Implikasi dari pendekatan baru dalam tata kelola
(governance) SDG yang ada dalam rancangan perpres SDG harus mampu mengelola dan
menjawab dua pokok soal: (i) bagaimana memastikan arsitektur partisipasi yang
menjamin terjadinya kualitas dan kuantitas partisipasi para pemangku
kepentingan. (ii) Bagaimana tata kerja dan metode kerja yang akan diatur dan
ditetapkan perpres SDG–tim pengarah dan pokja-pokja, dapat mengantisipasi dan
memberi dukungan teknis kepada (a) peran pemerintah daerah, kabupaten, dan
kota; (b) revolusi/perbaikan pendataan dan akuntabilitas; (c) kemitraan dan
pendanaan; (d) penyusunan peta jalan dan rencana aksi.
SUGENG BAHAGIJO,
DIREKTUR EKSEKUTIF INFID
source: http://infid.org
source: http://infid.org
Comments
Post a Comment